Tipografi judul film

Tipografi merupakan suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca untuk mendapatkan kenyamanan membaca semaksimal mungkin.
untuk menulis judul filmpun tipografi sangat di butuhkan. karena rancangan tipografi tidak hanya memberikan citra pada film tersebut tetapi, hal tersebut dapat memberikan penjelasan tentang film tersebut. sehingga, apabila tipografi untuk penulisan film ditulis dengan benar, maka hal itu dapat mendorong audience untuk menonton film tersebut.
penulisan tipografi pada judul film tidaklah mudah. ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi untuk menghasilkan tipografi film yang menarik yaitu:
1. mudah di baca
2. terdapat keserasian antara karakteristik film dengan rancangan tipografi judul film
3. penggunaan warna.
Dalam tipografi film, rancangan huruf yang di pilih tidak sembarangan lo, bisa di bilang agak ribet, mengapa????... karena harus melalui proses identifikasi seperti karakter tokoh, setting dan cerita dari film tersebut. seperti film "TITANIC" yang penulisan judulnya bisa memberikan kesan classic dan elegan dari film tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa tipografi pada judul film adalah suatu rancangan visualisasi yang di rancang sedemilian rupa untuk menarik minat audience pada sebuah film.(t_k)

Bahasa Kamera





Penulis : NN


Extreme Long Shot (E.L.S.) atau comprehensive shot mempunyai sudut pandangan yang paling besar. Shot ini menunjukkan seluruh latar belakang dan lingkungan dari suatu obyek yang diambil gambarnya. Kadang-kadang dari segi fungsinya, shot ini juga disebut establishing shot (E.S.). Shot ini merupakan kebiasaan dalam dunia film digunakan untuk memulai sebuah adegan.

Long Shot (L.S.) di mana dalam shot ini obyek yang diambil gambarnya sudah tampak lebih jelas daripada dalam extreme long shot. Ketinggian obyek kira-kira kurang dari ketinggian layar. Kegunaan khusus dari shot ini terletak pada kemampuannya meletakkan obyek dalam lingkungan secara jelas.

Over The Shoulder (O/S) atau OTS. Dua tokoh berada didepan kamera, tapi kamera merekam adegan itu melewati bahu salah seorang merekam wajah kawan mainnya.




Medium Long Shot (M.L.S.) dan Medium atau Mid Shot (M.S.). Dalam medium long shot suatu obyek, entah barang atau orang, berdiri penuh-penuh di sedikit kejauhan dengan ada sela-sela tersisa pada bagian atas atau bagian bawah layar. Obyek itu masih cukup erat dengan latar belakangnya dan merupakan bagian daripadanya. Sedang medium shot telah cukup jelas menonjolkan obyeknya. Sifat shot ini netral, tenang dan memandang obyeknya secara obyektip, tanpa ikut campur tangan dengan urusannya.
Apabila subyek gambar adalah tubuh manusia, maka bagian bawah dari bidang gambar memotong tubuhnya pada ketinggian setinggi pinggul orang tersebut.

Medium Close Up (M.C.U.) dan Close Shot (C.S.) adalah pengambilan gambar manusia sebatas daerah dada ke atas. Sifat dari gambar yang didapat terasa intim.





Close Up (C.U.) layar dipenuhi oleh wajah tokoh yang diambil gambarnya : kira-kira dari dagu dan memotong sedikit pucuk kepalanya sampai pada ketinggian bawah leher sebatas bahu. Karena shot ini sangat kuat, maka biasanya dipakai agak hemat.

Extreme Close Up (E.C.U.) atau Big Close Up (B.C.U). Kadang-kadang juga disebut insert, sebab kerap diselipkan dalam suatu adegan guna memberi tekanan khusus. Apabila mengambil seorang tokoh, shot ini hanya mencakup bagian wajah yang pokok, kira-kira meliputi bagian mata dan mulut. Dapat juga hanya mulut atau mata saja. Inilah shot yang paling kuat.

Low Camera bila sewaktu mengambil gambar obyek, juru kamera memasang kamera lebih rendah, di bawah ketinggian mata seorang dewasa yang sedang berdiri.

High Camera bila kamera dipasang lebih tinggi daripada ketinggian mata.


Low Angel (L.A.) bila obyek diambil gambarnya dari bawah.






Bird-Eye-View atau High Angel (H.A.) bila obyek diambil dari atas.

Two Shot (2-S) Sebuah shot yang berisi dua tokoh, biasanya dalam M.C.U






Three Shot (3-S) Sebuah shot yang berisi tiga tokoh, biasanya dalam M.C.U.

Two Shot fav. x merupakan sebuah shot yang berisi dua orang, tapi kamera lebih mengutamakan salah seorang tokoh daripada yang lainnya. Yang satu letaknya menghadap kamera, sedangkan yang satunya berada dalam profil, atau ¾ profil (fav. Artinya favouring).

Point of View (P.O.V.), misalnya P.O.V si Badu, maka dalam hal ini kamera adalah si Badu dan melihat adegan yang berada dihadapannya seakan-akan dari sudut pandangnya.




Gerak Panning (PAN) adalah bila kamera bergerak sekeliling sumbu vertikalnya. Dengan gerakan ini kamera dapat melihat dan mengamati keadaan sekitarnya, dari kanan ke kiri atau kiri ke kanan, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.

Kamera bergerak secara Tilting (TILT) apabila kamera bergerak naik (UP) turun (DOWN) di atas sumbu horisontalnya. Dengan gerakan itu kamera dapat memandang ke atas dan ke bawah atau sebaliknya.

Gerakan Tracking (TRACK) terjadi apabila kamera bergerak maju atau mundur ke samping kanan atau ke samping kiri. Gerak kamera semacam ini dapat terjadi karena kamera diletakkan di atas semacam gerobak yang berjalan di atas track, rel. akibat gerakan kamera tracking yang maju atau mundur hampir sama dengan akibat pemakaian lensa zoom. Bedanya, dalam gerakan tracking, obyek-obyek yang ada jauh di belakang obyek yang diambil gambarnya tidak berubah bentuknya. Sedang dengan kamera zoom obyek-obyek yang ada di belakang obyek yang diambil gambarnya juga ikut menjadi besar.

Gerakan Crane (CRANE) terjadi apabila kamera dipasang pada sebuah crane, alat pengangkut yang berwujud seperti katrol.

Zoom In (Z.I.). Kamera tidak dipindahkan dengan sebuah gerakan, tapi sebuah zoom lensa yang digunakan, dengan merubah focal length lensa itu. Dengan cara ini subyeknya diperbesar, tanpa menimbulkan perubahan pada perspeksi adegannya. Sedangkan sebaliknya pada sebuah Track Shot, dimana kamera bergerak kearah subyeknya dan perspeksi berubah, seakan-akan kita berjalan menuju subyeknya.

Zoom Out (Z.O.). Dalam hal ini lensa zoom digunakan dengan melakukan perubahan pada focal lengthnya, tapi dilaksanakan dalam cara yang bertentangan dengan Zoom In.

"Belajar"
Model : Tito & Gerard
Foto : Ulum

Monsters vs Aliens: Teknologi 3D di Balik Layar


Sabtu, 4 April 2009 | 19:20 WIB

Mulai akhir pekan lalu, film animasi tiga dimensi (3D) Monsters vs Aliens mulai ditayangkan di bioskop-bioskop di Amerika Serikat (AS). Menciptakan film animasi 3D jauh dari proses yang sederhana.

Banyak kerumitannya. Meskipun semua itu banyak terbantu oleh teknologi digital yang makin canggih. Karena itu, Dreamworks pun berencana merilis semua film animasinya dalam format 3D.

Ini dimulai dengan Monsters vs Aliens.

Karena rumitnya menciptakan film animasi 3D, para animator beserta sutradaranya yang bekerja di Dreamworks menggunakan cara trial and error demi menggali potensi sejatinya dari format 3D.

Monsters vs Aliens adalah karya pertama Dreamworks yang menggunakan format 3D dalam film animasinya.

Otak kita mengombinasikan perspektif berbeda dari penglihatan oleh mata. Ini membuat kita memiliki persepsi terhadap gambar 3D.

Untuk menciptakan film berteknologi 3D, animator menirukan penglihatan alamiah manusia. Caranya dengan menggunakan kamera stereoskopik sebagai bagian yang menyatu dengan komputer.

Masing-masing dilengkapi dengan dua kamera yang mewakili pandangan dari masing-masing mata penonton. Yang terpenting dalam pengaturan (setting) kesatuan kamera dan komputer ini, seperti diungkapkan Phil McNally, kepala pembuatan film stereoskopik di Dreamworks, adalah pengaturan sudut atau jarak di antara kedua kamera.

“Jika dua kamera ini berada di posisi yang sama, tidak akan didapatkan stereo. Semuanya berada di posisi yang sama, akibatnya hanya muncul film 2D, bukan 3D,” paparnya. "Makin lebar memisahkan kameranya, makin banyak masing-masing sudut pandang (point of view) yang dapat dilihat di sekeliling objek. Artinya, makin lebar pemisahan kamera, makin tinggi kualitas 3D-nya,” imbuh dia.

Dalam hal ini, peran zero parallax setting (ZPS) menjadi penting. ZPS menentukan apakah sudut pandang dua kamera di monitor sudah memiliki konvergensi.

Pada sebagian besar pembuatan film, Dreamworks menggunakan perangkat lunak (software) komputer. Termasuk sejumlah program-program komersial seperti Maya yang berfungsi secara presisi mengendalikan pengaturan kamera stereoskopik. Kendali otomatis akan lebih menguntungkan untuk dipergunakan. Ia mampu menghemat waktu dengan sangat signifikan dibandingkan memakai pengaturan shotting manual.

Animator juga menciptakan jendela stereoskopik dinamik—berupa sebuah black box yang mem-frame-kan film tersebut—sebagai bagian komposisi film serta kerap dipakai meningkatkan “kekuatan aksi” dari film.

“Jika kita ingin memberi seseorang gambaran seseorang berlari ke arah kita, digunakan trik optik untuk meletakkan jendela stereo dekat dengan penonton sementara karakter yang berlari itu masih jauh jaraknya. Ketika karakter itu berlari makin dekat ke penonton, kita akan mendorong jendela stereo guna memperbesar atau memperkuat kesan kalau orang tersebut berlari makin dekat ke arah penonton," papar programmer grafis film McNally.

“Dalam salah satu adegan, karakter animasi berlari makin mendekat dan pada saat yang bersamaan jendela stereo menjadi mundur. Namun, penonton tidak akan merasa jendela tersebut bergerak,” pungkasnya.

sumber: surabaya pos

sejarah video komunitas

iyaaa... masih tentang video komunitas, kali ne lebih ke sejarahnya.



LINTAS SEJARAH VIDEO KOMUNITAS


(diringkas kembali dari buku video komunitas oleh yoga atmaja)

Berbagai sumber kepustakaan selama ini menyebut apa yang terjadi pada tahun 1967, di Pulau Fogo, satu pulau kecil di lepas pantai timur Propinsi Newfoundland & Labrador, Kanada, dianggap sebagai cikal-bakal video komunitas (Riano, 1994; Media Development, 1989). Hal ini berawal pada Tahun 1965, ketika Don Snowden dari Universitas Memorial Newfoundland, membaca laporan Dewan Ekonomi Kanada (The Economic Council of Canada) tentang kemiskinan di negeri itu. Dia tidak setuju dengan laporan tersebut, karena menggunakan berbagai tolok-ukur kemiskinan menurut nilai-nilai perkotaan. Snowden kemudian punya gagasan membuat satu film tentang bagaimana masyarakat di Newfoundland itu sendiri melihat kemiskinan dan berbagai masalah lainnya. Dia kemudian bekerja dengan pembuat film lainya, Colin Low. Mereka berdua kemudian membahas kemungkinan beberapa kawasan di Newfounland yang potensial difilmkan. Berdasarkan semua data dan informasi yang tersedia, akhirnya, mereka memilih Pulau Fogo sebagai tempat yang paling layak untuk memulai apa yang mereka sebut sebagai ‘Proses Fogo’. Pada waktu itu, sedikitnya ada 5.000 orang yang tinggal di Pulau Fogo. Mereka tersebar di sekitar sepuluh kawasan pemukiman yang saling berjauhan dan terpencar di berbagai penjuru pulau kecil itu.

Snowden percaya kalau penduduk Fogo dapat mengorganisir diri mereka dengan berbagai cara, asalkan mereka diberi peluang dan dibantu melihat berbagai kemungkinannya. Untuk itu, dia dan Low membentuk tim dari kalangan para warga setempat. Mereka melatih para warga itu menggunakan kamera dan peralatan film lainnya untuk merekam berbagai keadaan dan kejadian yang mereka anggap berkaitan dengan masalah kemerosotan ekonomi dan kesejahteraan warga Fogo. Ternyata, mereka merasa lebih nyaman dan bebas menyatakan pendapatnya di depan kamera.

Rekaman-rekaman gambar itulah yang kemudian ditayangkan ulang untuk mereka tonton beramai-ramai, baik di pemukiman dimana gambar itu diambil, maupun di pemukiman lainnya yang berjauhan. Terjadi pertukaran hasil rekaman antar pemukiman yang selama ini nyaris tidak berkomunikasi satu sama lain.

Ketika rekaman dari keseluruhan proses yang berlangsung di Fogo itu dipertontonkan kepada para pejabat pemerintah Newfoundland, hasilnya mengejutkan. Pemerintah langsung bertindak mengundang warga Fogo untuk membahas lebih jauh masalah mereka. Terjadi serangkaian pertemuan, dan pemerintah akhirnya menyetujui pendapat warga Fogo: membatalkan rencana pemindahan mereka, dan menggantinya dengan satu program khusus yang membantu prakarsa yang sudah dilakukan oleh para warga sendiri, antara lain, megembangkan koperasi warga yang sudah ada, dan beberapa program pembangunan lainnya.
Snowden dan kawan-kawan tidak berhenti sampai disana. Mereka dan warga setempat melanjutkan terus ‘Proses Fogo’ sampai, pada tahun 1969, pembuatan dan penggunaan film sebagai media pendidikan dan pengorganisasian akhirnya dilakukan sendiri sepenuhnya oleh warga setempat.

MENYEBAR KE SELURUH DUNIA

Banyak aktivis gerakan sosial kemudian terilhami oleh ‘Proses Fogo’. Mereka mulai mengembangkan prakarsa serupa di berbagai tempat lain di seluruh dunia. Mereka kemudian menyebut berbagai prakarsa terobosan itu dengan beragam penamaan dan peristilahan, mulai dari yang agak teoritik konseptual --misalnya, ‘komunikasi pembangunan’ (development support communication)-- sampai ke yang ‘sarat ideologi’ --seperti ‘media untuk perubahan’ (media for change)-- atau yang lebih bersifat praktis --seperti ’video partisipatif’ (participatory video). tetapi, apapun istilah yang digunakan untuk menyebut konsep dan praktik ‘video berbasis komunitas’ (community-based video) atau ‘video komunitas’ (community video) ini, satu hal jelas dan pasti: media audio-visual ternyata efektif dan mampu digunakan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu untuk keperluan, kepentingan, dan tujuan-tujuan mereka sendiri. Anggapan umum bahwa jenis media ini terlalu canggih, serba rumit, dan mahal, ternyata hanya ‘mitos’ dan telah di’demistifikasi’kan sendiri oleh mereka yang justru selama ini dibenamkan ke dalam ‘kesadaran mistik’ tersebut!

Untuk melihat lebih jelas bagaimana sesungguhnya proses demistifikasi media audio-visual itu terjadi selama ini, berikut adalah beberapa contoh --secara singkat saja-- yang banyak dikutip selama ini.

  • Dekonstruksi Identitas di Kolombia

Di Amerika Latin, praktik video komunitas sudah berlangsung sistematis sejak 1970an, bersamaan dengan semakin luasnya pengaruh pemikiran ‘pendidikan penyadaran’ (consientesacao) nya Paulo Frerie. Rodriguez (1994), menyajikan satu contoh dari Kolombia. Bagi kaum perempuan yang hidup di kawasan kumuh pinggiran ibukota Bogota, tujuan utama mereka ketika belajar membuat video adalah bukan meniru apa yang mereka lihat setiap hari di layar televisi, tetapi justru memberinya alternatif tandingan. Salah seorang dari mereka lugas sekali menyatakan: “ Kami tidak cukup cantik untuk muncul di layar televisi”. Jadi, mereka pun belajar membuat video bukan untuk mempertontonkan wajah dan tubuh mereka, tetapi berbagai masalah sosial dan hidup sehari-hari mereka yang susah.

Melalui proses-proses pembuatan video itulah, kaum perempuan pinggiran kota Bogota itu akhirnya menemukan bersama siapa sebenarnya diri mereka, apa masalah-masalah bersama yang mereka hadapi, dan dimana kedudukan mereka dalam keseluruhan sistem sosial Kolombia. Kesadaran batu itu yang kemudian menggerakkan mereka mengorganisir diri, melakukan berbagai tindakan bersama untuk mengatasinya, berupaya mengubah keadaan yang tidak memihak kepada mereka selama ini.

  • Pelestarian Budaya di Brazil

Suku Indian Kayapo di Brazil telah menggunakan video untuk melestarikan sistem dan tradisi yang akan diwariskan kepada anak-cucu mereka (Ogan 1989). Pada pertengahan 1980an, beberapa pakar antropologi menetap di tengah belantara Amazonia, untuk membuat satu film dokumenter tentang kehidupan orang Indian Kayapo. Tak dinyana, orang-orang Kayapo itu malah berminat dan berprakarsa membuat video mereka sendiri. Mereka meminta para peneliti itu mengajarkan kepada mereka cara menggunakan semua peralatan pembuatan video yang mereka bawa. Setelah berlatih dan menguasai hampir semua teknik dasarnya, warga Kayapo itupun mulai membuat video tentang diri dan kehidupan mereka sendiri.

Hasilnya adalah kejutan baru berikutnya. Para penghuni rimba itu ternyata menemukan dan mengembangkan cara-cara pengambilan gambar dan konsep visual mereka sendiri, menghasilkan video yang benar-benar unik dan ‘asli’. Bukan hanya mereka yang kemudian menemukan kembali berbagai hal dalam sistem pengetahuan lokal mereka sendiri, tetapi para peneliti dari luar tadi juga belajar sesuatu yang baru dan jauh lebih mendasar: kepercayaan pada kemampuan manusia --seterpencil apapun-- untuk menciptakan suatu sistem pengetahuan dan peradaban mereka sendiri. Video hasil karya orang Kayapo itu segera melegenda sebagai contoh yang paling sering dipertontonkan tentang perjuangan suatu omunitas mempertahankan jati diri mereka.

  • Surat-surat Video’ di Nepal

Satu lembaga bantuan hukum khusus untuk kaum perempuan menggunakan video untuk berkomunikasi dengan kaum perempuan di desa-desa terpencil. Caranya sederhana saja. Mereka merekam seseorang (pejabat pemerintah, pakar, atau salah seorang di antara mereka sendiri) yang menjelaskan singkat tentang satu topik khusus menyangkut masalah-masalah perlindungan hukum bagi kaum perempuan di Nepal. Di akhir penjelasan itu, mereka melontarkan beberapa pertanyaan kunci.

Kaset video itu kemudian disebarkan ke desa-desa, dan ditonton oleh kaum perempuan disana. Para perempuan desa itu --yang telah dilatih sebelumnya menggunakan kamera video dan dipinjami kamera sederhana-- saling merekam jawaban, pendapat, atau pertanyaan-pertanyaan balik mereka. Lalu, hasil rekamannya mereka kirim kembali ke kota. Kini giliran pejabat pemerintah, pakar, pengacara, dan aktivis organisasi sosial di ibu kota Kathmandu yang menonton rekaman video dari desa tadi. Mereka kemudian membuat rekaman video baru sebagai jawaban atau penjelasan informasi baru untuk dikirim lagi ke para perempuan desa tadi. Demikian seterusnya, seperti saling menulis dan menjawab surat-surat, tapi kali ini melalui rekaman gambar dan suara --karena itu, mereka menyebutnya ‘surat-surat video’ (video letters).

  • Pemberdayaan Perempuan di India

Pengalaman video komunitas yang diprakarsai oleh Perhimpunan Perempuan Swakarya (Self Employed Women’s Association, SEWA ) di Ahmedabad, India, adalah salah satu contoh yang paling sering dikutip (Stuart 1989). SEWA didirikan pada tahun 1972 dengan tujuan mengorganisir perempuan miskin di perkotaan, antara lain, melalui koperasi, program perlindungan hukum, dan sebagainya.

Tahun 1984, Martha Stuart, seorang perintis video komunitas, memfasilitasi satu lokakarya yang diselenggarakan oleh SEWA. Banyak perempuan yang hadir di lokakarya itu tidak bisa membaca dan menulis, juga belum pernah melihat kamera video. Dalam lokakarya itulah mereka pertama kali melihat dan langsung berlatih menggunakannya. Setelah lokakarya, malah mereka membentuk ‘Koperasi Video SEWA’. Dan, sejak saat itulah video menjadi satu media penting bagi mereka menyebarkan informasi, meningkatkan kesadaran anggota dan warga setempat tentang berbagai masalah sosial atau ekonomi, mempengaruhi para pembuat keputusan di lembaga-lembaga pemerintah, dan sebagai media pelatihan. Misalnya, mereka menggunakan video untuk menyiapkan para pekerja pelinting rokok melawan ketidakadilan yang menimpa mereka, yakni diskriminasi dalam pekerjaan dan pemotongan upah secara sepihak oleh para kontraktor.

VIDEO KOMUNITAS di INDONESIA

Sepanjang yang bisa digali dari bahan-bahan yang tersedia, tercatat ada beberapa prakarsa video komunitas yang telah dimulai di Indonesia sejak tahun 1980an. Yang cukup dikenal adalah proses video komunitas yang difasilitasi oleh Pusat Kateketik (PUSKAT) yang berkdudukan di Jogyakarta. Pada pertengahan tahun 1980an, mereka memfasilitasi satu kelompok masyarakat lokal di satu desa di Flores Timur, yang sebagian besar warganya menderita penyakit kusta. Warga desa itu dilatih menggunakan kamera dan membuat video tentang masalah-masalah yang mereka hadapi.

Sayangnya, prakarsa itu tidak pernah berlanjut lagi, sementara PUSKAT sendiri lebih banyak memproduksi video pendidikan agama (Katholik) dan beberapa dokumenter. Ada prakarsa oleh beberapa organisasi non pemerintah lainnya pada masa itu, tetapi sebenarnya lebih tepat disebut sebagai video dokumenter, atau malah ‘video penyuluhan’ yang dibuat oleh staf organisasi yang bersangkutan tentang suatu kelompok masyarakat atau isu tertentu di suatu kelompok masyarakat.Bertolak dari pengertian video komunitas --sebagai alat pendidikan dan pengorganisasian yang di buat oleh warga masyarakat setempat sendiri-- maka beberapa contoh saja yang dapat disajikan berikut ini.

  • Memperjuangkan hak-hak ulayat tradisional dan otonomi lokal di Maluku

Sejak tahun 1988, beberapa kelompok masyarakat adat lokal di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, mulai mengorganisir diri mereka untuk memperjuangkan otonomi masyarakat lokal serta hak-hak kepemilikan dan penguasaan atas wilayah ulayat tradisional mereka dan sumberdaya alam di dalamnya. Untuk itu, mereka menggunakan berbagai jenis media, termasuk media visual (terutama fotografi). Baru pada tahun 1993, mereka mulai mengenal media audio-visual dan segera membuat video komunitas mereka sendiri.
Difasilitasi oleh Jaringan Baileo Maluku, bekerjasama dengan South East Asia Popular Communication Program (SEAPCP), warga masyarakat setempat membangun satu unit ‘studio’ kecil di Pusat Pelatihan Yayasan Nen Mas Il di Desa Evu, Pulau Kei Kecil --studio audio-visual pertama di Indonesia yang sepenuhnya dikelola oleh warga setempat, dan berkedudukan di desa terpencil, langsung di tengah masyarakat itu sendiri.

Pada masa itu, semua peralatan berupa peralatan video analog, manual. Tetapi, dengan peralatan sederhana tersebut, warga setempat mampu membuat puluhan video komunitas sepanjang tahun tentang berbagai kejadian atau isu sosial yang mereka alami. Seluruhnya dikerjakan oleh para warga setempat sendiri, mulai dari menemukan gagasan dan merumuskan tema pokok dan tujuan pembuatannya, sampai ke penulisan ‘naskah’ (sebenarnya hanyalah outline script atau story board sederhana), pengambilan gambar, pengisian suara, dan penyuntingan akhir. Tetapi sebagian besar video komunitas yang mereka buat sebenarnya terjadi secara ‘spontan’, nyaris tidak mengikuti semua aturan baku pembuatan video atau film, karena memang mereka buat hanya untuk digunakan di kalangan mereka sendiri sebagai media pendidikan dan pengorganisasian. Banyak yang malah hanya disunting secara cut to cut, atau malah tidak sama sekali, langsung diputar seketika itu untuk memulai diskusi antar warga setempat.

Namun, ada beberapa yang sempat mereka buat secara ‘bersengaja’. Misalnya, Musuh Nelayan (1993) --video singkat 14 menit tentang tiga isu besar (pemboman ikan, pembiusan ikan, dan armada pukat-harimau) yang saat itu dihadapi nelayan setempat. Disajikan dalam gaya penyuntingan kompilasi semi-dokumenter’, video ini pernah digunakan luas sebagai bahan pelatihan dan lokakarya oleh banyak organisasi non pemerintah di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara, terutama sebagai contoh dan bahan analisis sosial. Juga, Buka Sasi Lompa (1994, 1996, 2004) --video 23 menit dengan gaya ‘pencatatan etnografis’ tentang praktik pelestarian sumberdaya alam lestari secara tradisional di Pulau Haruku, Maluku Tengah. Video ini juga beredar luas di banyak organisasi lingkungan dan masyarakat adat di Indonesia dan Asia Tenggara. Bahkan, laporan video (video report) mereka, Sambil Berjalan (1998, 2005) --video 21 menit yang mengisahkan perjalanan sejarah organisasi mereka sejak awal 1990an-- sempat digunakan di banyak organisasi lain sebagai ‘contoh kasus’ pengorganisasian rakyat (community organizing).

Pada tahun 2002, mereka mulai mengganti seluruh peralatan tua dengan peralatan serba digital dan menggunakan komputer penyuntingan. Setelah hamoir 15 tahun, mereka masih tetap berproduksi, malah mulai pula melayani permintaan beberapa lembaga pemerintah setempat, organisasi lain, atau bahkan perseorangan. Ini adalah cara mereka untuk memperoleh dana operasional dan pemeliharaan peralatan yang terbukti memang cukup membantu mereka bertahan sampai sekarang. Namun, studio audio-visual itu bukanlah pekerjaan utama mereka. Sehari-harinya, mereka tetap saja seorang petani, seorang nelayan, seorang guru sekolah, pegawai kantor desa, atau seorang ibu rumah-tangga biasa, dan sebagainya. Mereka baru berkumpul di studio --sebagai suatu tim-- jika ada gagasan untuk membuat video tentang suatu hal. Umumnya, mereka hanya bekerja rata-rata 1-2 minggu saja untuk menyelesaikan satu produksi, itupun dikerjakan sebagai ‘tugas sambilan bersama’, tanpa meninggalkan pekerjaan pokok sehari-hari mereka.

  • Mempertahankan Jatidiri di Bali

Sebagai salah satu tujuan wisata paling sohor di dunia --bahkan pusat industri wisata terbesar di Indonesia-- Bali sudah menjadi satu kosmopolitan sejak lama. Namun, tak banyak terungkap selama ini bahwa banyak juga orang Bali sendiri yang mengalami kegelisahan jatidiri mereka di tengah gemerlap itu.

Pada tahun 2001, aktivis Yayasan Wisnu Bali mulai melatih penduduk beberapa desa di Bali Timur membuat video untuk merekam kegelisahan-kegelisahan tersebut. Sejak saat itu, mereka menghasilkan beberapa video komunitas yang mereka gunakan sebagai media pendidikan dan pengorganisasian di kalangan mereka sendiri. Misalnya, warga Desa Nusa Ceningan --salah satu pulau kecil eksotik di pantai selatan-timur Bali, membuat video tentang berbagai masalah yang menggelisahkan mereka, antara lain, perkembangan harga pasar rumput laut --sumber penghidupan utama sebagian besar penduduk setempat-- yang kian tidak menguntungkan mereka; pelayanan kesehatan umum yang tidak memadai; anak-anak muda yang semakin asing dengan berbagai tradisi budaya mereka; dan sebagainya. Tetapi, yang paling fenomenal adalah ketika mereka menggunakan media audio-visual itu, pada tahun 2002, untuk menentang dan berhasil meyakinkan pemerintah Kabupaten Klungkung untuk menghentikan rencana yang akan mengubah pulau kecil mereka menjadi satu kawasan wisata komersial.

Semua video itu menjadi media pemicu diskusi di jaringan ‘Sekolah Banjar’ --satu model pendidikan alternatif yang mereka prakarsai, berbasis pada kelembagaan banjar desa khas Bali-- di beberapa desa disana. Di setiap desa, ada minimal satu kamera jinjing digital sederhana yang dapat digunakan bersama-sama, sehingga mereka dapat mengambil gambar kapan saja diperlukan. Karena jarak yang nisbi dekat dan prasarana angkutan umum yang juga cukup baik di Bali, mereka pun setiap saat dapat mengutus seorang warga ke studio audio-visual Yayasan Wisnu di kota Denpasar untuk melakukan penyuntingan dengan komputer. Biasanya, sehari semalam sudah selesai, lalu orang itu pulang dan menayangkan hasil suntingannya untuk ditonton bersama dengan seluruh warga, memulai suatu proses diskusi di antara mereka.

Sama seperti di Kepulauan Kei, seluruh proses video komunitas di Bali ini tidak berdiri sendiri secara parsial, tetapi bagian terpadu dari satu proses yang ebih besar. Proses video komunitas itu adalah bagian dari --dan sekaligus media yang memicu-- berbagai kegiatan warga setempat untuk berupaya terus-menerus memecahakan berbagai permasalahan sosial yang mereka alami sehari-hari. Dan, sama seperti yang di Kepulauan Kei, mereka tetap saja sebagai petani atau nelayan, tidak berubah menjadi pembuat video ‘profesional’ atau staf (karyawan) dari organisasi yang memfasilitasi mereka selama ini.

AKHIRNYA

Sejak tahun 1990an, memang mulai banyak kalangan --terutama organisasi non pemerintah-- di Indonesia yang membuat video tentang berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat. kemajuan teknologi optik dan digital membuatnya semakin mudah dan nisbi murah. Banyak pula lembaga dana yang mulai berminat dan mendukung mereka untuk melakukannya, sehingga sebenarnya lebih merupakan bagian dari suatu ‘proyek’ dari luar.

Adapun proses video komunitas yang benar-benar dirancang, diolah, dikelola, dan digunakan sendiri oleh warga masyarakat setempat lebih sebagai alat dalam proses-proses pendidikan dan pengorganisasian mereka sendiri, masih tetap langka ditemukan. Apalagi yang mampu bertahan sampai bertahun-tahun tanpa membuat warga masyarakat setempat meninggalkan pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari, berubah menjadi ‘orang baru lain’, tercerabut dari akar sosial dan budaya mereka sendiri.